Resonansi
Sebuah persahabatan yang tulus
Melihat ada boneka kucel, kotor diatas sofa ruang tamu, seketika kemarahan Bu Dina muncul. Diambilnya dengan dua jari tangan kirinya boneka panda tersebut. 'Hih, kotor! bau lagi!," serunya. Dibawanya boneka itu keluar ruangan. Begitu
membuka pintu, dilihatnya putri kecilnya, Quinza sedang bermain dengan Nida, anak tetangga. "Heh, boneka siapa ini?, kotor, bau! buang sana!" seru Bu Dina sambil melempar boneka ke tanah diluar teras. "Kedua anak perempuan tersebut hanya diam, pelan-pelan Nida berjalan dan memungut bonekanya tersebut dan pulang. "Mama jahat!, seru Incha, nama panggilan untuk Quinza sambil berlari masuk ke dalam kamar. "Biarkan si gembel itu pulang! bikin kotor saja!"seru Bu Dina marah. Disambanginya putri satu-satunya itu di kamar. "Incha, mama tuh sayang sama Incha, jangan lagi main sama Nida si gembel itu ya!, nanti kamu sakit jika kotor-kotoran." "Mama janji nanti mama belikan boneka yang baru dan cantik," kata Bu Dina. "Gak mau!, Mama jahat!, mama jahat!" seru Incha sambil tersedu.
Rupanya sejak kejadian itu, Incha yang biasanya ceria jadi nampak pemurung dan lebih banyak diam. Dia lebih banyak berdiam diri di dalam kamar dan seringkali gak mau makan. Tetapi karena kesibukan Bu Dina sebagai wanita karir, tidak pernah memperhatikan perubahan itu. Sehari-harinya anak yang belum genap lima tahun itu lebih banyak berinteraksi dengan pembantu. Bu Dina sendiri lebih sibuk mengurusi pekerjaan di kantor, sementara suaminya bekerja di luar kota dan tidak pasti bisa pulang sebulan sekali.
Pada hari itu, Minggu, tepatnya seminggu sebelum puasa Ramadhan, Pak Rehan suami Bu Dina ada di rumah karena kebetulan ada libur di kantor. Keluarga tersebut sibuk mempersiapkan berbagai keperluan menjelang puasa ramadhan. Mereka sekeluarga sibuk berbelanja ke Mall. Meskipun sekeluarga ngumpul ada mama dan papanya, namun Incha tetap saja nampak murung tak bersemangat ketika berada di tempat-tempat belanja. Tak sedikitpun barang-barang ataupun mainan yang dibelikan orangtuanya menarik baginya. Dia lebih banyak berdiam diri tak bicara. Ketika Bu Dina, Pak Rehan dan dibantu bi Sumi tengah sibuk menata barang-belanjaan di ruang tengah, tiba-tiba... "Duk Duk Duk...Gluduk" suara sesuatu jatuh di tangga menuju lantai dua rumahnya. Seketika mereka berlari menuju suara tersebut. "Astagfirullah, Incha jatuh Pa!", teriak Bu Dina. Tanpa banyak komentar, Pak Rehanpun langsung membopong Incha ke ruang tengah. Diletakkannya putri kecilnya itu di sofa dan diamatinya dengan teliti putrinya yang lunglai tak sadarkan diri tersebut. Dari badannya nampak tak ada cidera, tetapi dari hidung dan telinganya sedikit mengeluarkan darah. "Bagaimana ini pa! Incha gak pa pa kan?" tanya Bu Dina. "Ma, kita harus segera bawa ke rumah sakit!" seru Pak Rehan, dan langsung mengangkat kembali tubuh putrinya menuju ke dalam mobil yang masih terparkir di depan rumah belum sempat dimasukkan garasi. "Bi, siapkan pakaian-pakaian Incha dan kita ikut ke rumah sakit!," perintah Bu Dina kepada Bu Sumi. "Baik, Bu," jawab Bi Sumi.
Hanya sekitar dua puluh menit perjalanan, mobil Pak Rehan sudah sampai depan rumah sakit, tepat di depan IGD. Pak Rehan langsung mengangkat anaknya masuk ke IGD supaya langsung ditangani. Kebetulan hari itu sepi, sehingga Incha langsung dapat tertangani.
"Bagaimana Dok keadaan anak kami?"tanya Bu Dina ketika melihat dokter keluar dari ruang IGD. "Putri Bapak, Ibu, belum sadar, kami sedang upayakan semoga bisa tertangani", jawab dokter. "Sebaiknya Bapak dan Ibu berdoa untuk kesembuhan putrinya," lanjut dokter.
Sudah tiga hari Quinza, putri kecil Bu Dina ada di rumah sakit, tetapi rupanya belum juga sadarkan diri. Dia masih ada di ruang isolasi dengan berbagai macan alat medis yang melekat ke tubuhnya. Sehari-hari Bu Dina hanya bisa menangis dan selalu berdoa agar segera disembuhkan putri kesayangannya tersebut. Beribu penyesalan yang dia ucapkan di dekat putrinya karena selama ini tidak pernah bisa memberikan kasih sayang penuh kepadanya. Selama ini lebih banyak sibuk dengan urusannya. "Incha, sayang, sadarlah Nak, mama menyayangimu, maafkan mama", berulang-ulang diucapkan lirih di depan putrinya, sambil dipeganginya tangan mungil putrinya itu.
Pada hari keempat, Incha belum juga sadar dari komanya. Sudah banyak sanak saudara maupun tetangga yang menjenguknya.
"Bu Dina, kalau dijinkan kami ingin menengok dan melihat kondisi Neng Incha," kata Bu Sari tiba-tiba sudah berada di samping Bu Dina di luar ruang isolasi. Bu Sari saat itu datang
dengan menggandeng Nida anaknya yang juga teman yang sebelumnya biasa bermain dengan Incha.
Dengan sedikit ragu-ragu, Bu Dina pun mengangguk tanda mengijinkan. Dalam hati Bu Dina merasa bersalah Karena orang yang selama ini dihina, dicaci, masih juga hadir menyempatkan menjenguk putrinya.
Setelah mendapat ijin dari dokter, akhirnya Bu Sari dan Nida putrinya masuk ke ruangan Incha. Dilihatnya gadis kecil yang tengah tertidur dalam koma itu sambil menitikkan air mata seraya berdoa. "Ya Allah, bangunkanlah neng Incha anakku ini, angkatlah sakitnya, sadarkanlah Ya Allah. Kami rindu akan cerianya, kami rindu akan kelucuannya. Bangunkanlah Ya Allah, Aamiin ya Robbal alamiin." " Cha, bangunlah Cha...., kita main lagi yuk!, Si boby sudah lapar, sudah lama gak kamu suapi!," seru Nida anak Bi Sumi lirih. Nida biasa menyebut Boby untuk boneka panda yang biasa mereka ajak main bersama. "Tadi malam Nida bermimpi, kita bermain bersama dengan boby lagi Cha, eh.. ternyata cuma mimpi" kata Nida lirih sambil mengeluarkan boneka lusuhnya dari tas plastik yang ia bawa. "Jangan!"seru Bu Dina yang dengan spontan melarang Nida mengeluarkan boneka lusuhnya. "Biarkan ma!," Kata Pak Rehan.
"Ayo Cha kita suapi lagi boby biar kenyang, Boby lapar Cha...," kata Nida lirih sambil menempelkan bonekanya ke tangan Incha.
Seketika itu seperti ada keajaiban, dari sela-sela mata Incha yang terpejam, keluarlah butir-butir air mata yang akhirnya jatuh ke samping kanan dan kiri. Semua yang ada di ruangan menangis haru. Beberapa detik kemudian jari-jari mungil Inchapun bergerak perlahan untuk menyentuh kulit boby boneka itu.
"Yuk kita main sama Boby lagi yuk!,"seru Nida lebih bersemangat. Seperti dibangunkan oleh malaikat, tiba-tiba boneka itupun direngkuh oleh lemahnya tangan mungil dan ditariknya dalam pelukan.
"Incha!, sadarlah sayang!, bukalah matamu sayang!", seru Bu Dina dengan air mata kebahagiaan yang bercucuran karena melihat tanda-tanda kesadaran putrinya. Dengan pelan namun pasti, kedua mata mungil itupun mulai terbuka. Satu kata yang pertama kali tercap dari mulut Incha, " Nida!!".
Ternyata apa yang dapat dilihat saat itu adalah suatu keajaiban yang luar biasa. Nida kecil, anak orang tak berpunya yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang bapak karena telah meninggal dalam kecelakaan sejak dia bayi, mampu menunjukkan contoh sebuah persahabatan yang tulus.
Sejak saat itu, terbukalah kesadaran akan kepedulian Keluarga Bu Dina terhadap sesama tanpa memandang kaya ataupun miskin, apalagi terhadap anak yatim dan piatu. Seperti pada awal puasa tahun ini, banyak sekali Bu Dina sekeluarga berbelanja untuk bersedekah dibagikan kepada tetangga khususnya yang kurang mampu, agar bisa menunaikan ibadah puasa bersama dengan suka cita. (af.upik)
#Maharban ya Ramadhan 1441 H. Mohon maaf lahir batin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment